Epistemologi

Epistemologi_ Induktivisme, Problema induksi, Ketergantungan Observasi pada Teori

1.      Pendahuluan
Ilmu merupakan prinsip kajian yang mendasari suatu proses kerja dan merupakan hasil dari proses pengamatan. Pada dasarnya ilmu menempati posisi yang sangat penting bagi kehidupan. Ilmu dipercaya dari berbagai metode mempunyai keistimewaan, dalam hal ini yang dimaksud adalah ilmu sebagai dasar pemikiran untuk bertindak dan proses pemantapan pengetahuan. Epistemologi sebagai teori mengenai pengetahuan yang berkembang. Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiiki (Bakthiar, 2007:148).  Kajian epistemologis menyelidiki, asal-usul, susunan metode-metode dan sahnya pengetahuan. Berdasarkan hal itu pula terdapat berbagai pandangan mengenai pandangan dan konsep ilmu pengetahuan. Epistemologis yang mengkaji ilmu dari  kaum induktivis dan masalah-masalah yang muncul, yaitu problem induksi memberikan pemikiran dan argumen yang  berbeda. Dengan demikian, dari hal tersebut muncul teori, observasi dan kaiatannya satu sama lain.
1.      2.      Epistemologis
Suhartono (2005:158) mengemukakan dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda. Menurut Susanto (2011:104) sarana epistemologis yaitu melalui akal, budi, pengalaman atau kombinasi akal, pengalaman dan intuisi untuk menentukan suatu pencapaian ilmiah. Oleh karena itu, muncul berbagai model epistemologis. Baik secara empirisme maupun rasionalisme serta beberapa teori pengetahuan lainnya. Dalam kajian ini dibahas mengenai epistemologi dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif, yaitu bagaimana pandangan kaum induktivis tentang ilmu. Chalmers (1983:1—11) mengemukakan teori induktivisme sebagai berikut:
2.1  Induktivisme: Imu sebagai Pengetahuan yang Berasal dari Fakta-fakta Observasi
1)      Pandangan tentang ilmu dan induktivisme naif
Pengetahuan ilmiah adalah pada dasarnya  adalah pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya. Teori-teori ilmiah ditarik dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh melalui observasi dan eksperimen. Ilmu yang didasarkan pada apa yang kita, lihat dengar, raba dan sebagainya. Pengetahuan yang ilmiah dapat dipercaya, karena dapat dibuktikan secara objekif sedangkan, ilmu bertolak dari observasi. Hal ini adalah pandangan induktivis naïf mengenai ilmu. Dalam mengamati pengamat ilmiah harus memiliki organ-organ indera yang normal dan sehat, dan harus jujur dan setia merekam apa yang ia lihat, dengar dan sebagainya. Pernyataan yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut adalah keterangan-keterangan observasi, yang kemudian menjadi dasar untuk menarik hukum-hukum dan teori yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Induktivis (penalaran induktif) atau inductive reasoning memiliki pernyataan yang diperoleh dari hasil pengamatan yaitu keterangan-keterangan observasi. Contohnya, 1) sebatang tongkat yang sebagiaan tercelup dalam air nampak bengkok. 2) kertas litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan. Keterangan-keterangan ini dapat dicek dengan observasi yang cermat. Seorang pengamat dapat menetapkan atau mencek sendiri keterangan dengan penggunaan organ-organ indah. Pengamat menyaksikan sendiri. Keterangan-keterangan seperti ini dinamakan keterangan tunggal. Keterangan tunggal melibatkan faktor-faktor tertentu, atau keadaan suatu tempat dan waktu tertentu.
Dalam penalaran induktif terdapat pula keterangan-keterangan umum atau keterangan universal yang mengungkapkan sifat atau perilaku beberapa aspek alam semsesta. Berbeda dengan keterangan tunggal, mereka mencakup semua kejadian tertentu disemua tempat tertentu. Contohnya, 1) planet-planet bergerak menurut garis elips mengitari tata surya. 2) asam mengubah litmus menjadi merah. Dalam hal ini, memang semua planet dimanapun kedudukannya, selalu bergerak dalam garis berbentuk elips yang mengelilingi surya. Hukum-hukum dan teori yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian, menurut induktivis naïf, batang-tubuh pengetahuan ilmiah dibangun oleh induksi dengan dasar kukuh yang diperoleh lewat observasi. Ketika jumlah fakta yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen meningkat, dan ketika fakta-fakta makin lengkap dan mendalam karena keterampilan kita dalam observasi dan eksperimen, maka makin banyak hukum dan teori yang makin luas keumumannya dan ruang lingkupnya dibentuk dengan penjelasan induktif yang cermat.
2)      Logika dan penalaran deduktif
Studi tentang penalaran deduktif mengandung disiplin logika. Dalam hal ini seorang ilmuan memiliki hukum-hukum dan teori-teori universal. Berdasarkan hal itu dimungkinkan baginya menarik konsekuensi-konsekuensi yang bisa digunakan untuk memberikan penjelasan-penjelasan dan ramalan-ramalan. Sebagai contoh setelah mendapatkan fakta bahwa logam memuai bila dipanasi, maka bisa ditarik dari fakta bahwa rel kereta api di bawah  terik matahari tanpa celah-celah di tempat-tempat sambungannya akan mengeliat. Penjelasan dengan penarikan semacam ini disebut penalaran deduktif. Deduksi logika tidak dapat berlaku sebagai sumber atau keterangan yang benar tentang dunia. Deduksi berkaitan dengan penarikan-penarikan keterangan-keterangan dari keterangan lain yang sudah diketahui.
3)      Ramalan dan penjelasan menurut taksiran induktivis
Untuk memahami secara sederhana fungsi hukum-hukum dan teori-teori sebagai perangkat untuk meramal dan alat untuk memberikan penjelasan di dalam ilmu. Secara sederhana akan diilustrasikan dengan contoh sebagai berikut:
a)      air murni membeku pada 0 derajat Celcius (kalau diberi cukup waktu).
b)      Di dalam radiator mobil saya terdapat air murni.
c)      Apabila suhu menurun sampai di bawah 0 derajat Celcius, air di dalam radiator mobil saya akan membeku (kalau diberi cukup waktu).
Di sini terdapat contoh argumen logis yang sah untuk mendeduksi bahwa ramalan pada poin c berasal dari pengetahuan ilmiah yang terkandung pada poin a. Apabila poin a dan b benar, maka c mesti benar. Akan tetapi, kebenaran a, b dan c tidak dapar dikukuhkan dengan deduksi logika saja. Prinsip induktivis, sumber kebenaran bukanlah logika tetapi pengalaman. Menurut pandangan itu, a akan ditentukan kebenarannya lewat observasi langsung tentang membekunya air, Sekali a dan b telah ditetapkan kebenarannya lewat observasi dan induksi, maka ramalan c dapat dideduksi dari poin a dan b.
4)      Daya Tarik Induktivisme Naïf
Pendapat kaum induktivis naïf tentang ilmu mempunyai beberapa segi positif. Dalam hal ini yang menjadi daya tariknya, terletak pada pandangan yang nampaknya terletak pada kenyataan bahwa mereka memberikan uraian yang telah diformalisasi mengenai beberapa kesan popular tentang sifat ilmu yang sebenarnya, tentang daya menjelaskan dan meramal, keobjektifan dan kesan reabilitas lebih unggul daripada bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Objektivitas ilmu induktivis ditarik dari fakta-fakta bahwa observasi mau pun penalaran induktif itu sendiri adalah objektif. Keterangan-keterangan observasi dapat diterangkan kebenarannya oleh setiap pengamat dengan menggunakan secara normal organ-organ inderanya. Tidak ada unsur perorangan dan subjektif. Validitas keterangan-keterangan observasi, bila diperoleh secara tepat, tidak akan tergantung pada selera, pendapat dan harapan atau angan-angan si pengamat. Sama halnya dengan penalaran induktif, yang mengatakan pengetahuan ilmiah  berasal dari keterangan-keterangan observasi.
Reabilitas suatu ilmu adalah kelanjutan dari klaim-klaim kaum induktivisme tentang observasi dan induksi. Keterangan observasi yang membentuk landasan ilmu itu terjamin dan terpercaya, karena kebenarannya dapat dicek dan ditetapkan dengan penggunaan organ-organ indera. Selanjutnya, reliabilitass keterangan-observasi itu disalurkan dan ditarik menjadi hukum-hukum dan teori-teori, dengan syarat kondisi-kondisi yang memuaskan untuk melakukan induksi yang sah semuanya tersedia. Hal ini dijamin oleh prinsip-prinsip induksi yang menjadi landasan pembentukan ilmu menurut kaum induktivis naïf.
2.2  Problema Induksi
Pada kajiannya induksi memiliki permasalahan yang harus dicermati. Dalam hal ini Chalmers (1983:13—15) mengemukakan problema induksi pada kajiannya. Menurut pandangan induktivis naïf, ilmu bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal ini merupakan prinsip dari induksi, yang menyatakan pula bahwa induksi tidak dapat dibenarkan berdasarkan secara logika semata-mata.
Prinsip induksi tidak dapat dibenarkan hanya dengan bersumber dari logika. Dengan demikian, kaum induktivis menunjukkan bagaimana prinsip induksi itu dapat ditarik dari pengalaman. Induksi telah diobservasi berdasarkan sejumlah besar kesempatan, dalam hal ini misalnya, hukum-hukum tentang gerakan planet-planet ditarik dari observasi atas posisi planet-planet dsb, dan telah digunakan dengan berhasil untuk meramalkan kejadian-kejadian gerhana-gerhana. Dengan ramalan dan penjelasan yang berhasil berkat hukum-hukum dan teori-teori ilmiah itu telah ditarik secara induktif.
Pembenaran induksi seperti di atas tidak dapat diterima. Argumen untuk mendapatkan pembenaran induktif masih berputar-putar, karena itu justru menggunakan argumen induktif yang validitasnya diperkirakan membutuhkan pembenaran. Argumen induktif yang dipergunakan tidak dapat membenarkan prinsip induksi. Dalam hal ini maksudnya kita tidak dapat mempergunakan induksi untuk membenarkan induksi. Kesulitan seperti ini melekat pada cara pembenaran induksi, secara tradisional hal ini disebut problema induksi. Tuntunan yang mengemukakan bahwa semua pengetahuan mesti berasal dari pengalaman melalui induksi, berarti mengenyampingkan prinsip induksi yang justru merupakan dasar sikap induktivis.
Problem induksi yang ada menjadi masalah pada kaum induktivis, selain itu Taryadi (1991:35) mengungkapkan problem induksi pada dasarnya menurut suatu pandangan yang luas, diterima ilmu-ilmu empiris yang ditandai oleh metode induktif. Merupakan suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak pada pernyataan-pernyataan  tunggal, seperti misalnya gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian, orang sampai pada pernyataan-pernyataan yang universal.
Chalmers (1983:16) mengemukakan prinsip induksi perputar-putar, prinsip ini memiliki kekurangan dan kelemahan. Kelemahan-kelemahan ini berpangkal pada kekaburan dan kebimbangan dari tuntutannya bahwa “sejumlah besar” observasi harus dilakukan pada “variasi keadaan yang luas”. Dalam hal ini maksudnya berpa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi “sejumlah besar” itu? Haruskah sebatang logam dipanasi 10 kali, 100 kali atau berapa banyak kali sebelum kita menyimpulkan logam selalu menuai bila dipanaskan? Apa pun jawabannya terhadap pertanyaan semacam itu, contoh-contoh dapat diberikan yang akan selalu menimbulkan keragu-raguan tentang keharusan adanya sejumlah besar observasi untuk itu. Dari contoh tersebut apabila prinsip induksi ingin berperan sebagai pandu untuk menyimpulkan suatu penyimpulan ilmiah yang sah maka kata “sejumlah besar” itu perlu dikualifikasi lebih terperinci dan tegas. Dalam hal ini akan dikemukakan bagaimana problema induksi berkaitan dengan kajian-kajian lain, yaitu sebagai berikut
1)      Prinsip Induksi dan Kaitannya dengan Probabilitas
Dalam prinsip induksi terdapat argumen-argumen yang membutuhkan pembenaran, oleh karena itu menimbulkan problem induksi. Berdasarkan hal itu Chalmers (1983:17—19) mengemukakan pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan probabel benar atau kemungkinan yang benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, maka makin besar pula variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar.
Pada dasarnya prinsip induksi dalam bentuk versi probabilitas dapat dibenarkan, ia tetap masih menimbulkan persoalan lanjutan yang harus dihadapi oleh kaum induktivis. Persoalan lebih lanjut ini berhubungan dengan kesulitan yang dijumpai bila memcoba menentukan secara persis bagaimana probabilitas suatu hukum atau teori dilihat dari segi pembuktian secara terperinci. Mungkin dapat diterima secara intuitif bahwa suatu dukungan observasi terhadap kaum universal meningkat, maka probabilitas suatu kebenaran hukum itu pun meningkat. Namun pada dasarnya intuisi tidak dapat menjadi bahan uji. Teori probabilitas memang dapat menyusun suatu uraian induksi yang dapat menghindari konsekuensi probalilitas keterangan universal, apa pun bukti observasinya.
Selain itu, terdapat pendekatan lain mengenai prinsip induktiv, yaitu pada probabilitas kebenaran ramalan-ramalan individual. Akan tetapi, ketergantungan probabiltas pada ketepatan-ketepatan ramalan yang menghasilkan hukum dan teori universal ini berlawanan dan merusak usaha kaum induktivis untuk menganggap probabilitas-probabiltas berasal dari ramalan individual.
2)      Respon terhadap Problema Induksi
Respon yang muncul terhadap problem induksi, berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya sebelumnya. Dalam hal ini Chalmers (1983:20) menyatakan bahwa respon yang muncul melemahkan tuntutan induktiv bahwa semua pengetahuan non-logis mesti berpengalaman dan menentang masuk akalnya prinsip induksi atas dasar beberapa pertimbangan lain. Bagaimana pun, menganggap prinsip induksi sebgai suatu hal yang sudah “jelas” tidaklah dapat diterima. Dalam hal ini, misalnya, apa yang kita anggap sudah “jelas” itu relatif dan terlalu banyak tergantung pada tingkat pendidikan kita, prasangka-prasangka kita dan kebudayaan kita sebagai pandu terpercaya untuk mencapai suatu yang masuk akal.
2.3  Ketergantungan Observasi pada Teori
1)      Pandangan popular tentang observasi
Dalam induktivis, juga terdapat asumsi-asumsi induktivis mengenai status dan peranan observasi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut Chalmers (1983:22—23) menyatakan terdapat dua asumsi penting dalam pandangan induktivis naïf tentang observasi. Asumsi yang pertama yaitu, bahwa ilmu bertolak lewat observasi dan yang kedua bahwa observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik.
Pandangan popular tentang observasi memiliki lingkup yang luas. Dalam hal ini, dapat dipaparkan berdasarkan contoh, yaitu observasi yang berhubungan dengan dunia penglihatan saja. Manusia melihat dengan menggunakan matanya. Komponen-komponen terpenting  mata manusia adalah lensa dan retina dan hal tersebut belakangan ini berfungsi sebagai layar dimana gambar dari objek-objek dunia diluar mata kita terbentuk. Sorotan sinar dari objek yang kita pandang itu masuk ke lensa mata  via media yang memjadi perantaranya. Sorotan sinar ini terbias oleh bahan lensa mata sedemikian rupa sehingga berfokus pada retina, dan demikian terbentuklah gambaran objek itu. Hal ini merupakan salah satu contoh bagaimana observasi, pada proses penglihatan.
2)      Keterangan observasi membutuhkan teori
Pada dasarnya dalam melakukan pengamatan atau observasi, teori berperan dalam aspek penting. Teori sebagai acuan dan landasan dari sebuah hasil observasi yang didapatkan sehingga akan membentuk pengetahuan yang terpecaya. Berdasarkan hal tersebut Chalmers (1983:28—29) mengungkapkan menurut pandangan induktivis tentang ilmu, dasar kukuh yang ada dimana hukum-hukum dan teori-teori membangun ilmu, sebenarnya lebih merupakan keterangan observasi publik dari pada pengalaman subjektif dan pengamat individual.
Dengan demikian, kita boleh memilki asumsi bahwa bermacam-macam perceptual dapat secara langsung diperoleh seorang pengamat, tetapi keterangan observasi sudah tentu tidak demikian. Dalam hal ini merupakan milik publik, diformulasikan dalam bahasa publik, melibatkan materi yang sangat umum, dalam berbagai tingkat dan menggunakan observasi yang mengelabui. Sekali perhatian dipusatkan pada keterangan observasi yang membentuk dasar kukuh bagi ilmu, maka dapat dilihat bahwa berlawanan dengan klaim induktivis, suatu teori mesti mendahului semua keterangan observasi, keterangan observasi itu mungkin sama halnya dengan teori dalam pra-anggapan yang mendahuluinya. Pada dasarnya keterangan observasi harus dibuat dalam bahasa suatu teori, walaupun masih belum jelas kajiannya
Berikutnya Chalmers (1983:30—31) menyatakan keterangan  observasi selalu dibuat dalam bahasa satu teori dan akan sama persis seperti kerangka teoritis atau konseptual yang mereka manfaatkan. Selanjutnya, jika prioritas teori mendahului observasi, hal ini bertentangan dengan teori tesis induktivis yang menyatakan bahwa makna dari banyak konsep dasar diperoleh melalui observasi. Dengan demikian, untuk  memantapkan validitas suatu keterangan-observasi, memerlukan pertolongan teori, dan makin mantap validitasnya, makin ekstensif pula pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini langsung berlawanan dengan harapan yang ada yaitu pada pandangan induktivis, yakni bahwa untuk mengukuhkan kebenaran keterangan observasi diperlukan keterangan-keterangan observasi yang lebih terjamin, dan mungkin hukum-hukum bisa ditarik secara induktif dari situ, bukan dari teori yang ada.
3)      Observasi dan eksperimen dibimbing oleh teori
Pada dasarnya bahwa di dalam ilmu, teori mendahului observasi. Observasi dan percobaan diadakan dengan maksud untuk menguiji atau mengungkapkan suatu teori, dan hanya observasi yang relevan dengan tugas penelitan itu harus direkam. Namun, selama teori-teori yang membangun pengetahuan ilmiah bisa salah tidak lengkap, maka bimbingan yang diberikan teori-agar observasi menjadi relevan dengan teori yang diselediki. Dalam hal ini pula mungkin bisa menyesatkan dan mengakibatkan pengabaian beberapa faktor yang penting (Chalmers, 1983: 34—35)
4)      Induktivisme tidak disalahkan secara konklusif
Chalmers (1983:36—37) mengemukakan apabila kaum induktivis memisahkan cara penemuan dan pembenaran, posisi kaum indukivis tetap terancam oleh kenyataan bahwa keterangan-observasi itu bermuatan teori, dan oleh karenanya bisa salah. Kaum indukivis membuat perbedaan yang sangat tajam antara observasi langsung, yang mereka harapkan akan membentuk dasar yang kukuh untuk pengetahuan ilmiah, dan teori-teori akan dibenarkan dengan sejumlah dukungan induktif yang diterimanya dari dasar observasi yang terjamin. Pada dasarnya persoalan induksi tidak dapat dipandang sebagai kesalahan yang pasti, karena kebanyakan filsafat ilmu lain juga menunjukkan kesulitan-kesulitan yang serupa.
               
1.      Penutup
Ilmu sebagai pengetahuan dan berasal dari pengalaman-pengalaman. Selain itu pengetahuan menurut kaum induktivis naïf, observasi cermat tanpa prasangka dapat menghasilkan suatu dasar yang kukuh. Kemudian dapat ditarik pengetahuan ilmiah yang probabel benar, atau kalau tidak dapat dikatakan mesti benar. Pada percobaan yang dilakukan untuk membenarkan penjelasan induktif, hal ini yang melibatkan penarikan-penarikan hukum-hukum dan teori-teori lewat observasi. Selain itu pula, muncul problema induksi sebagai wujud dari hasil pencapaian sebuah observasi. Problema induksi yang membutuhkan kejelasan dan ketegasan dalam proses pembuktiaannya. Namun, pada dasarnya pengetahuan ilmiah masih berkaitan dengan dasar probabilitas yang memang dimiliki oleh ilmu pengetahuan.     






Daftar Pustaka
Bakthiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Chalmers, A. F. 1983. Apa Itu yang dinamakan Ilmu? Terjemahan Redaksi Hasan MitraJakarta: Hasta Mitra.
Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Susanto.  2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl. R. Propper.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Komentar

Headline

PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL

FILSAFAT ILMU: ETIKA KEILMUAN DAN KEBUDAYAAN

AKSIOLOGI